Jakarta — Advokat Christian Sihite bersama Lita Gading resmi menggugat Undang-Undang terkait pemberian uang pensiun seumur hidup bagi anggota DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini didasari anggapan bahwa aturan tersebut tidak adil, tidak proporsional, dan sudah tidak relevan dengan prinsip keadilan sosial di era reformasi konstitusi.
Dalam keterangan usai persidangan di Gedung MK, Christian Sihite menilai pasal mengenai uang pensiun DPR merupakan “pasal sakti” yang telah berlaku sejak tahun 1980 — jauh sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999.
“Artinya apa? Ini menjadi PR besar bagi DPR sebagai pembuat undang-undang untuk memperbaiki dan membentuk kembali regulasi yang sesuai dengan amanat konstitusi,” ujarnya.
Christian menegaskan, pihaknya memilih jalur konstitusional melalui MK karena menganggap hak uji materi adalah hak warga negara yang dijamin UUD 1945. Ia bahkan menyebut, gugatan ini juga membawa pesan moral bahwa “negara sedang tidak baik-baik saja”.
“Negara ini sakit. Bagaimana tidak? DPR mendapat uang pensiun sampai mati, bahkan bisa diwariskan kepada anak dan istri. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.
Menurut Christian, ketimpangan paling mencolok terlihat ketika dibandingkan dengan TNI dan Polri yang harus mengabdi puluhan tahun untuk memperoleh pensiun penuh, sedangkan anggota DPR hanya menjabat selama lima tahun.
“Bahkan jika seorang anggota DPR terlibat kasus korupsi, dia tetap mendapatkan uang pensiun. Ini benar-benar ketidakadilan,” katanya.
Ia juga menyebutkan, berdasarkan perhitungan sementara, total dana pensiun DPR mencapai sekitar Rp226 miliar, dengan penerima sebanyak 5.175 orang, termasuk mereka yang pernah tersandung tindak pidana.
“Kalau dihitung, uang pensiun yang diterima adalah 60 persen dari gaji anggota DPR aktif. Jadi ini bukan angka kecil,” tambah Christian.
Sementara itu, Lita Gading, yang menjadi salah satu pihak penggugat, menyoroti bahwa rakyat sebagai pembayar pajak merasa terbebani dengan kebijakan tersebut.
“Sudah terlalu banyak fasilitas yang diberikan negara kepada DPR. Ini bukan implementasi dari aspirasi masyarakat, justru jadi beban baru bagi rakyat,” ujar Lita.
Ia juga menyinggung persoalan kualitas pembentuk undang-undang di Indonesia.
“Yang jadi ironi, pelaksana undang-undang seperti hakim, jaksa, advokat, semua harus minimal sarjana hukum. Tapi pembuat undang-undangnya? Ada yang bahkan lulusan SMK. Ini jadi ironi besar dalam sistem hukum kita,” tutupnya.
Sidang gugatan uji materi ini menjadi salah satu sorotan publik di Mahkamah Konstitusi, seiring meningkatnya penolakan masyarakat terhadap skema pensiun seumur hidup bagi anggota DPR, yang dinilai tidak mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan sosial.
Artikel Terkait
Presiden Prabowo dan PM Albanese Umumkan Perjanjian Keamanan Baru Australia–Indonesia di Kapal HMAS Canberra
RM Yakinkan Fans: BTS Siap Comeback 2026, Album Baru Disebut “Luar Biasa”
Promotor Johnson: Konser 30 Tahun Opick Adalah Berkah, Karya Spiritual yang Menyentuh Semua Kalangan
Prambanan Jazz Festival Masuk Nominasi Indonesian Music Awards 2025, Anas Syahrul Alimi: “Langkah Penting bagi Ekosistem Musik Tanah Air”