KIEV – Saat invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina dimulai, Sophia baru berusia 16 tahun. Ia terlalu muda untuk bergabung secara resmi dengan militer, namun hal itu tidak menghentikannya untuk berjuang bagi negaranya. “Aku tidak bisa masuk tentara, jadi aku menjadi relawan,” ujarnya dalam wawancara terbaru di London.
Awalnya, Sophia membantu para jurnalis asing dan relawan di Kiev. Namun setahun kemudian, di usia 17 tahun, ia mulai bertugas di garis depan bersama batalion ibunya. “Aku hanya ingin membantu. Ibu mengizinkan aku bekerja di sana,” katanya.
Sebelum perang, Sophia memiliki impian besar: belajar di Universitas Oxford, mengikuti pelatihan pilot, dan menjadi arkeolog yang bekerja di Mesir. “Aku punya banyak rencana. Tapi semuanya harus ditunda. Bukan hilang, hanya tertunda,” ujarnya dengan tenang.
Kini, hidupnya jauh dari kehidupan remaja kebanyakan. Saat gadis seusianya menghabiskan waktu di media sosial atau berbelanja, Sophia justru berada di garis depan konflik, membantu tentara yang terluka dan menangani situasi darurat di titik stabilisasi medis.
“Awalnya aku pikir akan sulit melihat tubuh-tubuh terluka atau korban meninggal. Tapi kamu terbiasa. Di medan perang, kamu tak punya waktu untuk takut. Kamu hanya bekerja,” jelasnya.
Ketika ditanya apa yang memotivasinya, Sophia menjawab tegas, “Ini bukan pilihan, ini kebutuhan. Jika kami tidak bertahan, tidak akan ada Ukraina lagi.”
Meski hidupnya berubah drastis, Sophia tetap menemukan cahaya di tengah kegelapan. Di medan perang, ia bertemu tunangan masa depannya, yang kini juga bertugas di militer. “Aku tidak sedih kehilangan masa remaja, karena di perang aku menemukan cinta dan banyak orang luar biasa,” katanya sambil tersenyum.
Namun, perang juga meninggalkan luka mendalam. Banyak teman dan rekan seperjuangannya tewas. “Aku tidak bisa memikirkan kemenangan. Terlalu banyak orang hebat yang mati. Hari kemenangan nanti mungkin akan jadi hari berkabung bagiku,” ucapnya lirih.
Kini, sambil menempuh studi hukum internasional, Sophia tetap aktif dalam proyek dokumenter bersama sutradara Jenna Shafro, yang merekam kisah para medis muda perempuan Ukraina di garis depan. Film itu disebut sebagai upaya “menyelamatkan wajah-wajah perjuangan” bagi generasi mendatang.
Ketika ditanya tentang masa depan, Sophia berkata lembut, “Suatu hari nanti aku ingin berhenti sejenak, bepergian ke pegunungan, mengunjungi taman nasional, dan menghabiskan waktu bersama keluargaku. Aku hanya ingin hidup seperti orang biasa.”
Ia menutup dengan kalimat yang mencerminkan keteguhan hati generasi muda Ukraina:
“Perang hanyalah bagian dari hidup kami. Tapi kami bukan orang yang hancur — kami adalah pencinta kehidupan. Kami tahu betapa berharganya setiap momen kecil di dunia ini.”( BBC )
Artikel Terkait
Presiden Prabowo dan PM Albanese Umumkan Perjanjian Keamanan Baru Australia–Indonesia di Kapal HMAS Canberra
RM Yakinkan Fans: BTS Siap Comeback 2026, Album Baru Disebut “Luar Biasa”
Promotor Johnson: Konser 30 Tahun Opick Adalah Berkah, Karya Spiritual yang Menyentuh Semua Kalangan
Prambanan Jazz Festival Masuk Nominasi Indonesian Music Awards 2025, Anas Syahrul Alimi: “Langkah Penting bagi Ekosistem Musik Tanah Air”