TEHERAN, IRAN — Iran selama ini kerap digambarkan sebagai negara penuh ketegangan politik, program nuklir kontroversial, dan pembatasan kebebasan dalam pemberitaan media internasional. Namun, bagaimana sebenarnya kehidupan masyarakatnya di balik sorotan tersebut? Seorang jurnalis media online berkesempatan mengunjungi Iran dan merekam realitas sosial yang jarang muncul di layar kaca.
Teheran, kota modern dengan napas sejarah ribuan tahun, menjadi titik awal perjalanan. Kota berpenduduk lebih dari 14 juta jiwa ini menawarkan wajah urban yang bersih dan hidup. Dari ibukota, perjalanan berlanjut ke Shiraz — kota budaya yang dikenal sebagai tanah kelahiran para penyair legendaris Persia seperti Hafez dan Saadi
Aturan Sosial yang Mulai Bergeser
Salah satu isu paling mencolok di Iran adalah aturan berpakaian bagi perempuan. Omid, seorang warga Shiraz, menjelaskan bahwa jilbab masih wajib dikenakan di area publik sesuai hukum syariat. Pelanggaran bisa berujung pada denda atau teguran dari polisi moral. Meski demikian, situasi di lapangan menunjukkan perubahan. Banyak perempuan yang mulai mengenakan jilbab longgar, bahkan ada yang melepasnya di area publik, bentuk perlawanan diam-diam terhadap aturan konservatif yang masih berlaku.
Fenomena lain yang menarik perhatian adalah maraknya operasi kosmetik, terutama operasi hidung, yang menjadikan Iran sebagai salah satu destinasi bedah plastik populer di kawasan Timur Tengah.
Dampak Ekonomi dari Sanksi Internasional
Iran masih berjuang di bawah tekanan sanksi internasional yang membatasi perdagangan dan akses barang impor. Ritel global seperti McDonald’s tidak dapat ditemukan, digantikan oleh merek lokal seperti Shiraz Fried Chicken yang meniru konsep restoran cepat saji Amerika.
Kondisi ekonomi Iran kian diperburuk oleh inflasi yang tak terkendali. Harga barang kebutuhan bisa melonjak dalam hitungan hari, sementara kenaikan gaji hanya terjadi setahun sekali. Nilai tukar Rial pun terus merosot, memaksa masyarakat menukar mata uang asing di pasar gelap.
“Situasi ini membuat senyuman kami lebih pahit daripada air mata,” keluh seorang warga.
Sosial Budaya: Antara Tradisi dan Perlawanan Diam-diam
Di tengah tekanan ekonomi dan sosial, generasi muda Iran terus mencari celah untuk mengekspresikan diri. Pernikahan hasil perjodohan memang masih ada di kalangan keluarga konservatif, namun anak muda kini lebih memilih pasangan sendiri. Meski berpacaran di muka umum masih dianggap tabu, pesta pribadi dan club underground justru marak.
Fenomena pernikahan putih atau tinggal bersama tanpa ikatan resmi juga mulai terjadi, meskipun belum diterima secara sosial maupun hukum.
Di sisi lain, praktik keagamaan di kalangan generasi muda mulai berkurang. Banyak hari besar agama yang dulunya penuh nuansa khidmat kini justru dijadikan momen untuk berkumpul diam-diam.
Wajah Iran yang Ramah di Mata Wisatawan
Berbeda dari narasi media internasional, banyak wisatawan justru merasa aman dan diterima selama di Iran. “Saya merasa sangat aman di sini,” ujarnya.
Rasul, pendiri agen perjalanan Tap Persia di Isfahan, menyayangkan citra negatif yang dibentuk media asing. “Tolong bedakan pemerintah kami dengan rakyatnya. Kami orang biasa yang ramah dan terbuka,” katanya.
Isfahan sendiri dikenal sebagai kota toleransi, di mana komunitas Armenia hidup berdampingan dengan warga Muslim, lengkap dengan gereja, sekolah, dan klub eksklusif mereka sendiri
Perjalanan ini membuka mata bahwa Iran adalah negeri paradoks. Di balik aturan ketat dan tekanan ekonomi, ada keberanian, adaptasi, dan kehangatan manusia yang jauh dari gambaran media arus utama. Bertemu langsung dengan masyarakat setempat menjadi cara terbaik untuk memahami sisi lain Iran yang jarang diberitakan.
Artikel Terkait
Menjelajah Bali yang Sesungguhnya: Kisah Perjalanan Camper Van dari Prancis ke Pulau Dewata
Bom Perang Dunia II Ditemukan di Nagoya, Jepang: 1.800 Warga Dievakuasi
Kecelakaan Pesawat di Southend Airport, Inggris: Api Besar dan Asap Hitam Membumbung
Liverpool Menang 3-1 di Laga Penuh Emosi, Kenang Diego dan Andre Silva