LONDON, 1 Juli 2025 — Isu pengembalian tanah adat atau Land Back Movement kembali menjadi sorotan global. Dalam sebuah diskusi mendalam dilakukan terkait perjuangan masyarakat adat di berbagai belahan dunia untuk merebut kembali kendali atas tanah-tanah leluhur yang telah dirampas sejak era kolonialisme.
Fokus utama program ini adalah situasi di Amerika Utara, di mana hampir 99% tanah adat telah disita sejak kedatangan kolonialis Eropa. Situasi serupa juga terjadi di Aotearoa (Selandia Baru), di mana suku Māori telah berjuang lebih dari 150 tahun untuk mendapatkan kembali tanah yang diambil paksa.
Dalam wawancara lBBC angsung dari Queenstown, akademisi Māori dan pakar hukum adat, Claire Charters, menjelaskan makna mendalam tanah bagi masyarakat Māori. “Tanah bagi kami bukan sekadar sumber daya. Dia adalah Papatuanuku, ibu bumi, leluhur kami yang harus dirawat seperti kerabat sendiri,” ujar Claire. Ia menegaskan bahwa istilah land back bukan hanya soal kepemilikan lahan, tapi juga tentang dekolonisasi dan transformasi sistem pemerintahan agar lebih pluralis dan berkeadilan.
Sementara itu, dampak positif dari pengembalian lahan kepada masyarakat adat dalam konteks perubahan iklim. “Ketika masyarakat adat mendapatkan kembali tanah mereka, mereka menghidupkan kembali teknik tradisional seperti pengendalian kebakaran hutan alami dan pelestarian ekosistem yang terbukti efektif dalam mitigasi iklim.
Salah satu contohnya adalah kisah suku Nari Nari di Australia, yang setelah memenangkan kembali wilayah rawa mereka, berhasil mengembalikan aliran air alami dan memulihkan habitat satwa liar yang sebelumnya punah akibat sistem irigasi modern.
Isu ini kembali menjadi perbincangan hangat di Selandia Baru setelah kegagalan Rancangan Undang-Undang Prinsip-Prinsip Treaty yang dinilai mencoba mendefinisikan ulang makna perjanjian pendirian negara antara Māori dan pemerintah kolonial. Claire menyebut RUU tersebut sebagai sesuatu yang memicu ketegangan dan menghambat pengakuan hak-hak Māori.
Namun, gerakan land back bukan tanpa kritik. adanya penolakan dari pihak korporasi besar yang melihat tanah adat sebagai aset komersial penting untuk pertanian, pertambangan, dan kehutanan. Pemerintah di berbagai negara pun belum sepenuhnya sejalan — sebagian mendukung program buyback, sementara lainnya tetap bersikukuh pada klaim kedaulatan negara.
Meski demikian, menurut Claire Charters yang juga pernah menjadi penasihat Majelis Umum PBB, komunitas internasional mulai lebih terbuka terhadap peran masyarakat adat, khususnya dalam isu lingkungan dan perubahan iklim. “Pengakuan terhadap hak menentukan nasib sendiri masyarakat adat memang masih penuh dinamika, tapi di bidang hak asasi manusia dan iklim, ada kemajuan yang cukup berarti,” pungkasnya.
Artikel Terkait
Bom Perang Dunia II Ditemukan di Nagoya, Jepang: 1.800 Warga Dievakuasi
Kecelakaan Pesawat di Southend Airport, Inggris: Api Besar dan Asap Hitam Membumbung
Liverpool Menang 3-1 di Laga Penuh Emosi, Kenang Diego dan Andre Silva
Chelsea Bungkam PSG 3-0 di Final Piala Dunia Antarklub, Cole Palmer Bersinar